Gambar 1. Grup Sampyong Tugu berpose setelah diambil gambar oleh Rajawali Televisi. +Meneer Panqi 2012. |
Pendahuluan
Seperti
diketahui bersama, setiap daerah di Indonesia memiliki seni olahraga
tradisional. Olahraga tradisi ini lahir dan berkembang dari kultur dan
kebiasaan masyarakat setempat. Demikian juga dengan Indramayu, yang memiliki
seni olahraga sampyong. Olahraga tradisional ini lahir dari kultur keras yang
ada di Indramayu.
Indramayu
adalah salah satu wilayah yang diperebutkan pada masa lalu, wilayah yang
bernilai lebenstrum atau living space, ruang kehidupan dalam
pengertian geostrategi. Memiliki pelabuhan terbesar kedua di Jawa setelah Sunda
Kelapa, yang waktu itu dikuasai oleh Kerajaan Padjajaran. Kemudian, kedatangan R.
Arya Wiralodra dari Kerajaan Demak Bintara ke Indramayu, juga dengan tujuan
mengambil alih pelabuhan strategis ini. Apalagi selain memiliki pelabuhan,
Indramayu juga daerah yang kaya akan sumber daya alam.
Dalam
catatan sejarah diketahui, Selain dikenal sebagai penghasil mangga, kapas, dan
padi. Indramayu sejak zaman kolonial juga dikenal sebagai daerah penghasil
gula. Indramayu pernah merasakan masa keemasan komoditas gula diakibatkan sugar
boom pada masa pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1920-1930 dimana
produksi mencapai sekitar 3 juta ton dan diekspor sekitar 2,6 juta ton. Pada
tahun 1929 jumlah Pabrik Gula (PG) mencapai 179 pabrik di seluruh Jawa.
Sayangnya Industri mulai runtuh tahun 1930-an akibat resesi ekonomi dunia
(world recession).
Juga,
jangan menutup mata kedatangan Tentara Dai Nippon pada masa Perang Dunia ke II
ke Pulau Jawa pertama kali mendarat di Eretan Wetan, Indramayu. Jepang memahami
betul, bahwa Indramayu adalah salah satu daerah penghasil minyak, ikan, dan padi.
Tentu, keadaan ini tak disia-siakan, karena akan membantu Jepang untuk
kebutuhan logistik selama berperang. Tak heran, jika kemudian Jepang
menggulirkan kebijakan politik “aiko kurisawa”, tentang kewajiban serah padi
kepada petani Indramayu.
Dalam
kehidupan yang keras dan kejam ini, sebuah keniscayaan dibutuhkan keamanan dan
pertahanan diri. Inilah yang melahirkan sampyong sebagai seleksi keprajuritan
dan kemudian berkembang mengikuti denyut perubahan zaman, hingga hanya sekedar sarana
hiburan olahraga, seni olahraga duel. Tak ubahnya dengan olahraga sebangun dan
serupa di daerah-daerah lain di Indonesia, seperti karapan sapi di Madura.
Sejarah
Sampyong
Dalam
catatan yang berhasil dikumpulkan, kemunculan sampyong tak lepas dari
kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Jawa dalam penjelajahan dunia-nya. Berawal
dari Dinasti Yuan yang sedang merosot, banyak terjadi konflik di Tiongkok, Saat
itu kaisar Zhu di Istana Beiping (Beijing) mencanangkan program pengembalian
kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho
menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri.
![]() |
Gambar 2. Peta perjalanan penjelajahan dunia Laksamana Cheng Ho. Sumber : Yooniq Images |
Dalam
kurun waktu 1405-143, Cheng Ho memang pernah singgah di kepulauan nusantara
selama 7 kali. Ketika berkunjung ke samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng
raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng itu saat ini tersimpan di Museum
Banda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan
Bangka.
Selanjutnya
mampir di pelabuhan Sunda Kelapa (kini Tanjung Priok), tahun 1415 mendarat di
Junti Indramayu. Ketika menyusuri laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam
armada itu) sakit keras. Sauh segera dilempar di pantai Junti. Mereka tinggal
membuat pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Ki Dampu Awang atau Sam
Po Toa Lang. Ki Dampu Awang terkenal sebagai orang yang sakti dan kuat,
sehingga bisa mengalahkan bajak laut di Lautan Pantura Jawa.
![]() |
Gambar 3. Ilustrasi berlabuhnya Laksamana Cheng Ho di Jawa. Sumber : https://kyawkyawoo.wordpress.com |
Lambat
laun, ketenaran dan kesaktian Ki Dampu Awang terdengar oleh Ki Benthong seorang
sakti mandraguna dari bumi Dermayu. Mendengar kesaktian Ki Dampu Awang, Ki
Benthong ingin mencoba dan membuktikan kesaktian yang dimiliki oleh Dampu
Awang. Singkat cerita, seriwayat Ki Dampu Awang dan Ki Benthong akhirnya
dipertemukan. Untuk membuktikan siapa jawara diantara keduanya, digunakanlah
sebatang rotan. Inilah cikal bakal tradisi sampyong di desa Tugu, Kecamatan
Sliyeg, Indramayu.
Perkembangan
Sampyong
Dalam
tatar ke-sampyongan dikenal dua aliran yang memiliki kekhasan masing-masing,
dua aliran sampyong tersebut, ada gaya wetanan & gaya kulonan.
Wilayah yang terkenal pada gaya kulonan, seperti Suket Bajul & Manggungan.
Di wilayah gaya wetanan yang dikenal adalah gaya sampyong khas Tugu. Ada
istilah yang dikenal oleh para praktisi jawara sampyong yakni "Tangane
Malangkerik, sikile digoleng ngangkat, ujunge dipikul".
![]() |
Gambar 4. Malangkerik, simbol ksatria menantang lawannya. Sumber : +Meneer Panqi, 2012. |
![]() |
Gambar 5. Gaya wetanan, dengan mengangkat kaki sebelah. Sumber : Panji Darussalam, 2012. |
Ujung
adalah sebutan nama rotan yang dipakai dalam seni sampyong. Sikile digoleng
ngangkat, goleng adalah tanda dari seorang “garet” bahwa pertandingan siap
dimulai dengan cara membuat garis di tanah—arena. Garet adalah sebutan untuk
wasit dalam permainan sampyong. Sedangkan “malangkerik” yakni berkacak pinggang
adalah simbol seorang ksatria menantang lawannya untuk menggertak dengan gaya
petantang-petenteng.
![]() |
Gambar 6. Pemain sampyong sedang berduel, mencari celah untuk memukul. Sumber : Doni W, 2014. |
Menurut
versi kekandaan, sampyong atau ada yang menyebut juga dengan nama “ujungan”
adalah tradisi yang awalnya digunakan untuk menyeleksi para prajurit, terus
berevolusi menemukan jatidirinya sesuai zaman yang terus berkembang. Sehingga
akhirnya hanya jadi sekedar hiburan pelengkap pada tradisi Unjungan.
Sedangkan
jika ditilik dari segi bahasa, kata sampyong ini mendapatkan pengaruh dari
unsur budaya Cina. Sam itu tiga, pyong itu pukulan, tiga kali
memukul seperti dalam aturan permainan samptong.
Aturan
Main Sampyong
Permainan
sampyong menggunakan alat berupa sebilah rotan yang berukuran lebih kurang
60-80 cm (ujung). Alat tersebut digunakan untuk memukul lawan. Permainan ini
harus dilakukan di tengah lapangan dan para penonton berdiri mengelilingi
pemain yang sedang berlomba untuk saling mengalahkan. Selain alat tersebut,
permainan ini menggunakan musik gamelan dan beberapa wasit.
![]() |
Gambar 7. Pemain sampyong sedang "goleng". Sumber : Panji Darussalam, 2014. |
Seorang
pemain hanya diperkenankan memukul sebanyak 3 (tiga) kali pukulan. Sasaran
pukulan hanya sebatas betis ke bawah, tidak lebih dari itu. Pemain dapat
bermain pada kelas yang ditentukan menurut usia, misalnya golongan tua (dawuk)
dan pemuda (nom-noman).
Seluruh
peserta memasuki arena dipimpin oleh seorang garet (wasit), melakukan penghormatan kepada penonton
dengan iringan kendang, kenong, dan gong. Lebih populer disebut musik
bongklengan. Pertunjukan diawali dengan jogedan oleh tokoh sampyong kawakan dan
biasanya merekalah yang kemudian jadi garet. Ini pertunjukan pembuka.
Selepas
itu dilanjutkan dengan utama, seorang
pemain berhadapan dengan pemain lainnya menurut urutan panggilan. Dimeriahkan
dengan suara musik bongklengan dan riuh penonton. Pemain yang melanggar aturan dinyatakan
kalah. Permainan diakhiri jika salah seorang pemain sudah dapat memukul
lawannya tiga kali. Sampyong biasanya diselenggarakan berbarengan dengan
Unjungan. Waktunya adalah sore hari.
***
Meneer
Panqi
Penulis,
pemerhati budaya, dan konsultan media kreatif. Fokus dalam social movement
untuk Indonesia Creative. Banyak bekerjasama dalam dunia branding, design, dan
media sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar