Jumat, 07 April 2017

Olahraga Tradisional Sampyong



Gambar 1. Grup Sampyong Tugu berpose setelah diambil gambar oleh Rajawali Televisi. +Meneer Panqi 2012.

Pendahuluan
Seperti diketahui bersama, setiap daerah di Indonesia memiliki seni olahraga tradisional. Olahraga tradisi ini lahir dan berkembang dari kultur dan kebiasaan masyarakat setempat. Demikian juga dengan Indramayu, yang memiliki seni olahraga sampyong. Olahraga tradisional ini lahir dari kultur keras yang ada di Indramayu.

Indramayu adalah salah satu wilayah yang diperebutkan pada masa lalu, wilayah yang bernilai lebenstrum atau living space, ruang kehidupan dalam pengertian geostrategi. Memiliki pelabuhan terbesar kedua di Jawa setelah Sunda Kelapa, yang waktu itu dikuasai oleh Kerajaan Padjajaran. Kemudian, kedatangan R. Arya Wiralodra dari Kerajaan Demak Bintara ke Indramayu, juga dengan tujuan mengambil alih pelabuhan strategis ini. Apalagi selain memiliki pelabuhan, Indramayu juga daerah yang kaya akan sumber daya alam.

Dalam catatan sejarah diketahui, Selain dikenal sebagai penghasil mangga, kapas, dan padi. Indramayu sejak zaman kolonial juga dikenal sebagai daerah penghasil gula. Indramayu pernah merasakan masa keemasan komoditas gula diakibatkan sugar boom pada masa pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1920-1930 dimana produksi mencapai sekitar 3 juta ton dan diekspor sekitar 2,6 juta ton. Pada tahun 1929 jumlah Pabrik Gula (PG) mencapai 179 pabrik di seluruh Jawa. Sayangnya Industri mulai runtuh tahun 1930-an akibat resesi ekonomi dunia (world recession).

Juga, jangan menutup mata kedatangan Tentara Dai Nippon pada masa Perang Dunia ke II ke Pulau Jawa pertama kali mendarat di Eretan Wetan, Indramayu. Jepang memahami betul, bahwa Indramayu adalah salah satu daerah penghasil minyak, ikan, dan padi. Tentu, keadaan ini tak disia-siakan, karena akan membantu Jepang untuk kebutuhan logistik selama berperang. Tak heran, jika kemudian Jepang menggulirkan kebijakan politik “aiko kurisawa”, tentang kewajiban serah padi kepada petani Indramayu.

Dalam kehidupan yang keras dan kejam ini, sebuah keniscayaan dibutuhkan keamanan dan pertahanan diri. Inilah yang melahirkan sampyong sebagai seleksi keprajuritan dan kemudian berkembang mengikuti denyut perubahan zaman, hingga hanya sekedar sarana hiburan olahraga, seni olahraga duel. Tak ubahnya dengan olahraga sebangun dan serupa di daerah-daerah lain di Indonesia, seperti karapan sapi di Madura.

Sejarah Sampyong
Dalam catatan yang berhasil dikumpulkan, kemunculan sampyong tak lepas dari kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Jawa dalam penjelajahan dunia-nya. Berawal dari Dinasti Yuan yang sedang merosot, banyak terjadi konflik di Tiongkok, Saat itu kaisar Zhu di Istana Beiping (Beijing) mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri.
Gambar 2. Peta perjalanan penjelajahan dunia Laksamana Cheng Ho. Sumber : Yooniq Images

Dalam kurun waktu 1405-143, Cheng Ho memang pernah singgah di kepulauan nusantara selama 7 kali. Ketika berkunjung ke samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng itu saat ini tersimpan di Museum Banda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan Bangka.

Selanjutnya mampir di pelabuhan Sunda Kelapa (kini Tanjung Priok), tahun 1415 mendarat di Junti Indramayu. Ketika menyusuri laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Sauh segera dilempar di pantai Junti. Mereka tinggal membuat pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Ki Dampu Awang atau Sam Po Toa Lang. Ki Dampu Awang terkenal sebagai orang yang sakti dan kuat, sehingga bisa mengalahkan bajak laut di Lautan Pantura Jawa.
Gambar 3. Ilustrasi berlabuhnya Laksamana Cheng Ho di Jawa. Sumber : https://kyawkyawoo.wordpress.com
Lambat laun, ketenaran dan kesaktian Ki Dampu Awang terdengar oleh Ki Benthong seorang sakti mandraguna dari bumi Dermayu. Mendengar kesaktian Ki Dampu Awang, Ki Benthong ingin mencoba dan membuktikan kesaktian yang dimiliki oleh Dampu Awang. Singkat cerita, seriwayat Ki Dampu Awang dan Ki Benthong akhirnya dipertemukan. Untuk membuktikan siapa jawara diantara keduanya, digunakanlah sebatang rotan. Inilah cikal bakal tradisi sampyong di desa Tugu, Kecamatan Sliyeg, Indramayu.

Perkembangan Sampyong
Dalam tatar ke-sampyongan dikenal dua aliran yang memiliki kekhasan masing-masing, dua aliran sampyong tersebut, ada gaya wetanan & gaya kulonan. Wilayah yang terkenal pada gaya kulonan, seperti Suket Bajul & Manggungan. Di wilayah gaya wetanan yang dikenal adalah gaya sampyong khas Tugu. Ada istilah yang dikenal oleh para praktisi jawara sampyong yakni "Tangane Malangkerik, sikile digoleng ngangkat, ujunge dipikul".
Gambar 4. Malangkerik, simbol ksatria menantang lawannya. Sumber : +Meneer Panqi, 2012.

Gambar 5. Gaya wetanan, dengan mengangkat kaki sebelah. Sumber : Panji Darussalam, 2012.

Ujung adalah sebutan nama rotan yang dipakai dalam seni sampyong. Sikile digoleng ngangkat, goleng adalah tanda dari seorang “garet” bahwa pertandingan siap dimulai dengan cara membuat garis di tanah—arena. Garet adalah sebutan untuk wasit dalam permainan sampyong. Sedangkan “malangkerik” yakni berkacak pinggang adalah simbol seorang ksatria menantang lawannya untuk menggertak dengan gaya petantang-petenteng.
Gambar 6. Pemain sampyong sedang berduel, mencari celah untuk memukul. Sumber : Doni W, 2014.

Menurut versi kekandaan, sampyong atau ada yang menyebut juga dengan nama “ujungan” adalah tradisi yang awalnya digunakan untuk menyeleksi para prajurit, terus berevolusi menemukan jatidirinya sesuai zaman yang terus berkembang. Sehingga akhirnya hanya jadi sekedar hiburan pelengkap pada tradisi Unjungan.

Sedangkan jika ditilik dari segi bahasa, kata sampyong ini mendapatkan pengaruh dari unsur budaya Cina. Sam itu tiga, pyong itu pukulan, tiga kali memukul seperti dalam aturan permainan samptong.

Aturan Main Sampyong
Permainan sampyong menggunakan alat berupa sebilah rotan yang berukuran lebih kurang 60-80 cm (ujung). Alat tersebut digunakan untuk memukul lawan. Permainan ini harus dilakukan di tengah lapangan dan para penonton berdiri mengelilingi pemain yang sedang berlomba untuk saling mengalahkan. Selain alat tersebut, permainan ini menggunakan musik gamelan dan beberapa wasit.
Gambar 7. Pemain sampyong sedang "goleng". Sumber : Panji Darussalam, 2014.

Seorang pemain hanya diperkenankan memukul sebanyak 3 (tiga) kali pukulan. Sasaran pukulan hanya sebatas betis ke bawah, tidak lebih dari itu. Pemain dapat bermain pada kelas yang ditentukan menurut usia, misalnya golongan tua (dawuk) dan pemuda (nom-noman).

Seluruh peserta memasuki arena dipimpin oleh seorang garet  (wasit), melakukan penghormatan kepada penonton dengan iringan kendang, kenong, dan gong. Lebih populer disebut musik bongklengan. Pertunjukan diawali dengan jogedan oleh tokoh sampyong kawakan dan biasanya merekalah yang kemudian jadi garet. Ini pertunjukan pembuka.

Selepas itu dilanjutkan dengan  utama, seorang pemain berhadapan dengan pemain lainnya menurut urutan panggilan. Dimeriahkan dengan suara musik bongklengan dan riuh penonton. Pemain yang melanggar aturan dinyatakan kalah. Permainan diakhiri jika salah seorang pemain sudah dapat memukul lawannya tiga kali. Sampyong biasanya diselenggarakan berbarengan dengan Unjungan. Waktunya adalah sore hari.
***
Meneer Panqi
Penulis, pemerhati budaya, dan konsultan media kreatif. Fokus dalam social movement untuk Indonesia Creative. Banyak bekerjasama dalam dunia branding, design, dan media sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar